Sabtu, 13 Januari 2018

Manusia

DEFINISI MANUSIA MENURUT
AL-QURAN DAN HADIS

Istilah manusia dalam Al-Quran dikenal tiga kata, yakni kata al-insân, al-basyâr dan al-nâs.

1) Al-Insân
Al-Insân terbentuk dari kata نسيينسَ yang berarti lupa. Kata al-insân dinyatakan dalam al-Quran sebanyak 73 kali yang disebut dalam 43 surat. Penggunaan kata al-insân pada umumnya digunakan pada keistimewaan manusia penyandang predikat khalifah di muka bumi, sekaligus dihubungkan dengan proses penciptaannya. Keistimewaan tersebut karena manusia merupakan makhluk psikis disamping makhluk fisik yang memiliki potensi dasar, yaitu fitrah akal dan kalbu. Potensi ini menempatkan manusia sebagai makhluk Allah SWT yang mulia dan tertinggi dibandingkan makhluk-Nya yang lain.
Nilai psikis manusia sebagai al-insân yang dipadu wahyu Ilahiyah akan membantu manusia dalam membentuk dirinya sesuai dengan nilai-nilai insaniah yang terwujud dalam perpaduan iman dan amalnya. Sebagaimana firman Allah SWT Artinya :
“kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (QS. At-Thiin: 6)
Kata insan, digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasan.
2) Al-Basyar
Kata Al-Basyar dinyatakan dalam al-Quran sebanyak 36 kali yang tersebut dalam 26 surat. Kata-kata tersebut diungkap dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjukkan manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya.
Pemaknaan manusia dengan Al-Basyar memberikan pengertian bahwa manusia adalah makhluk biologis serta memiliki sifat-sifat yang ada di dalamnya, seperti makan, minum, perlu hiburan, seks dan lain sebagainya. Karena kata Al-Basyar ditunjukkan kepada seluruh manusia tanpa terkecuali, ini berarti Nabi dan Rasul pun memiliki dimensi Al-Basyar seperti yang diungkapkan firman Allah SWT dalam Al-Quran Surat Al-Kahfi ayat 110 :
Artinya:
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku… (QS. Al-Kahfi 110)
Dengan demikian penggunaan kata al-basyar pada manusia menunjukkan persamaan dengan makhluk Allah SWT lainnya pada aspek material atau dimensi jasmani nya.

3) Al-nâs
Kata al-nâs menunjukkan pada hakikat manusia sebagai makhluk social dan ditunjukkan kepada seluruh manusia secara umum tanpa melihat statusnya apakah beriman atau kafir. Penggunaan kata al-nâs lebih bersifat umum dalam mendefinisikan hakikat manusia dibanding dengan kata al-insân.
Kata al-nâs juga dipakai dalam Al-Quran untuk menunjukkan bahwa karakteristik manusia senantiasa berada dalam keadaan labil. Meskipun telah dianugerahkan Allah SWT dengan berbagai potensi yang bisa digunakan manusia untuk mengenal Tuhannya, namun hanya sebagian manusia saja yang mau mempergunakannya, sementara sebagian yang lain tidak, justru mempergunakan potensi tersebut untuk menentang ke-Mahakuasa-an Tuhan. Dari sini terlihat bahwa manusia mempunya dimensi ganda, yaitu sebagai makhluk yang mulia dam yang tercela.

Dari uraian di atas, bahwa pendefinisian manusia yang diungkap dalam Al-Quran dengan istilah Al-Insân, Al-Basyar dan al-nâs menggambarkan tentang keunikan dan kesempurnaan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Hal ini memperlihatkan bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang utuh, antara aspek material (fisik/jasmani), dan immaterial (psikis/ruhani) yang dipandu oleh ruh Ilahiah. Kedua aspek tersebut saling berhubungan.










PROSES PENCIPTAAN MANUSIA

Manusia adalah makhluk Allah. Ia bukan terjadi dengan sendirinya, tetapi dijadikan oleh Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam Al Quran Surat Ar-Rum ayat 40, yang artinya:
“Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali)” (QS. Ar-Rum : 40)

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang unsur penciptaannya terdapat ruh Illahi sedang manusia tidak diberi pengetahuan tentang ruh kecuali sedikit.
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (QS. Al-Israa : 85)

Proses penciptaan manusia seperti yang dimuat pada Al-Quran Surat Ash-Shaad ayat 71-72 dan Al-Mukminûn ayat 12-13, penggunaan kata al-insân mengandung dua dimensi, Pertama, dimensi tubuh / materiil (dengan berbagai unsurnya). Kedua, dimensi spiritual (ditiupkan-Nya ruh-Nya kepada manusia).



Quraish Syihab dalam Wawasan Al-Quran menjelaskan bahwa Al-Quran ketika berbicara tentang penciptaan manusia pertama, menunjuk kepada sang Pencipta dengan menggunakan pengganti nama berbentuk tunggal.

(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat : “Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah”. (QS. Shâd: 71)

Allah berfirman: “Hai iblis, Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) Termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi ?”. (QS. Shâd: 75)

Tetapi ketika berbicara tentang reproduksi manusia secara umum, Yang Maha Pencipta ditunjuk dengan menggunakan bentuk jamak.

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat : “Sesungguhnya aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk, Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”. (QS. Al-Hijr : 28-29)



Seperti telah disebutkan di atas bahwa Al-Quran juga menggunakan kata ath-thin untuk unsur materiil asal manusia. Salah satunya menggunakan kata sulâlatin min thîn, dalam konteks kejadian manusia pada umumnya. Di bagian lain diungkap menggunakan kata thînin lâzib seperti yang termuat dalam Al-Quran Surat Ash-Shâffât ayat 11 :

Maka Tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah) : “Apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa yang telah Kami ciptakan itu ?” Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat. (QS. Ash-Shâffât : 11)

Selain menggunakan kedua kata di atas (sulâlatin min thîn dan thînin lâzib), dalam Al-Quran juga terdapat kata shalshâl yang dirangkai dengan ungkapan min hamain masnûn seperti yang disebut dalam Surat Al-Hijr ayat 26 :
“Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk “.
Artinya:
“Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar (QS. Ar-Rahmân ; 14)





TUGAS DAN FUNGSI MANUSIA DALAM KEHIDUPAN

1.BERIBADAH KEPADA ALLAH SWT
        Beribadah kepada Allah Swt merupakan tugas pokok, bahkan satu-satunya tugas dalam kehidupan manusia sehingga apapun yang dilakukan oleh manusia dan sebagai apapun dia, seharusnya dijalani dalam kerangka ibadah kepada Allah Swt sebagaimana firman-Nya yang artinya:
“Dan Aku tidak menciptakan manusia kecuali supaya mereka menyembah-Ku” (QS 51:56).

Agar segala yang kita lakukan bisa dikategorikan ke dalam ibadah kepada Allah Swt, maka paling tidak ada tiga kriteria yang harus kita penuhi.
Pertama, lakukan segala sesuatu dengan niat yang ikhlas karena Allah Swt. Keikhlasan merupakan salah satu kunci bagi diterimanya suatu amal oleh Allah Swt dan ini akan berdampak sangat positif bagi manusia yang melaksanakan suatu amal, karena meskipun apa yang harus dilaksanakannya itu berat, ia tidak merasakannya sebagai sesuatu yang berat, apalagi amal yang memang sudah ringan. Sebaliknya tanpa keikhlasan, amal yang ringan sekalipun akan terasa menjadi berat, apalagi amal yang jelas-jelas berat untuk dilaksanakan, tentu akan menjadi amal yang terasa sangat berat untuk mengamalkannya.

Kedua, lakukan segala sesuatu dengan cara yang benar, bukan membenarkan segala cara. sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah Swt dan dicontohkan oleh Rasul-Nya. Manakala seorang muslim telah menjalankan segala sesuatu sesuai dengan ketentuan Allah Swt, maka  tidak ada penyimpangan-penyimpangan dalam kehidupan ini yang membuat perjalanan hidup manusia menjadi sesuatu yang menyenangkan.

Ketiga, adalah lakukan segala sesuatu dengan tujuan mengharap ridha Allah Swt dan ini akan membuat manusia hanya punya satu kepentingan, yakni ridha-Nya. Bila ini yang terjadi, maka upaya menegakkan kebaikan dan kebenaran tidak akan menghadapi kesulitan, terutama kesulitan dari dalam diri para penegaknya, hal ini karena hambatan-hambatan itu seringkali terjadi karena manusia memiliki kepentingan-kepentingan lain yang justru bertentangan dengan ridha Allah Swt.

2. KHALIFAH ALLAH DI MUKA BUMI
        Nilai-nilai dan segala ketentuan yang berasal dari Allah Swt harus ditegakkan dalam kehidupan di dunia ini. Untuk menegakkannya, maka manusia diperankan oleh Allah Swt sebagai khalifah (wakil) Allah di muka bumi ini untuk menegakkan syariat-syariat-Nya, Allah Swt berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS 2:30).


Untuk bisa menjalankan fungsi khalifah, maka manusia harus menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta menyiarkan kebaikan dan kemaslahatan, ini merupakan perkara yang sangat mendasar untuk bisa diterapkan dan tanpa kebenaran, keadilan serta kebaikan dan kemaslahatan, tidak mungkin tatanan kehidupan umat manusia bisa diwujudkan, karenanya ini menjadi persyaratan utama bagi manusia untuk menjalankan fungsi khalifah pada dirinya, Allah Swt berfirman yang artinya:
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikajn kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat karena mereka melupakan hari perhitungan” (QS shad:26).

Untuk bisa memperoleh kehidupan yang baik di dunia ini, salah satu yang menjadi penopang utamanya adalah penegakkan hukum secara adil sehingga siapapun yang bersalah akan dikenai hukuman sesuai dengan tingkat kesalahannya, karenanya hal ini merupakan sesuatu yang sangat ditekankan oleh Allah Swt kepada manusia sebagaimana terdapat dalam firman-Nya yang artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS 4:58).

Mengingat keadilan begitu penting bagi upaya mewujudkan kehidupan yang baik, kerharusan berlaku adil tetap ditegakkan meskipun kepada orang yang kita benci sehingga jangan sampai karena kebencian kita kepadanya, keadilan yang semestinya ia nikmati tidak bisa mereka peroleh. Manakala keadilan bisa ditegakkan, maka masyarakat yang bertaqwa kepada Allah Swt cepat atau lambat akan terwujud, Allah berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS 5:8).

3. MEMBANGUN PERADABAN
Kehidupan dan martabat manusia sangat berbeda dengan binatang. Binatang tidak memiliki peradaban sehingga betapa rendah derajat binatang itu. Adapun manusia, dicipta oleh Allah Swt untuk membangun dan menegakkan peradaban yang mulia, karenanya Allah Swt menetapkan manusia sebagai pemakmur bumi ini, Allah berfirman yang artinya:
“Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan pemakmurnya” (QS 11:61).



Untuk bisa membangun kehidupan yang beradab, ada lima pondasi masyarakat beradab yang harus diwujudkan dan diperjuangan pelestariannya, yaitu: Pertama,  nilai-nilai agama Islam yang datang dari Allah Swt. Kedua, akal yang merupakan potensi besar untuk berpikir dan merenungkan segala sesuatu. Ketiga, harta yang harus dicari secara halal dan bukan menghalalkan segala cara. Keempat, kehormatan manusia dengan akhlaknya yang mulia yang harus dijaga dan dilestarikan. Dan Kelima, keturunan atau nasab manusia yang harus jelas sehingga dalam masalah hubungan seksual misalnya, manusia tidak akan melakukannya kepada sembarang orang.

Manakala manusia tidak mampu membangun peradaban sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah Swt, maka martabat manusia akan menjadi lebih rendah dari binatang, hal ini karena manusia bukan hanya memiliki potensi fisik yang sempuna dibanding binatang, juga manusia punya botensi berpikir dan mendapat bimbingan berupa wahyu dari Allah Swt yang diturunkan kepada para Nabi. Dalam kaitan kemungkinan manusia menjadi lebih rendah atau lebih sesat dari binatang, bahkan binatang ternak dikemukakan oleh Allah Swt dalam firman-Nya yang artinya:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS 7:179).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Audit Teknologi Sistem Informasi

  TULISAN ILMIAH AUDIT TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI     DISUSUN OLEH : Dinda Ayu Larasati [11117743]     KELAS 4KA06     ...