DEFINISI
MANUSIA MENURUT
AL-QURAN
DAN HADIS
Istilah manusia dalam
Al-Quran dikenal tiga kata, yakni kata al-insân, al-basyâr dan al-nâs.
1) Al-Insân
Al-Insân terbentuk dari
kata نسي – ينسَ
yang berarti lupa. Kata al-insân dinyatakan dalam al-Quran sebanyak 73 kali
yang disebut dalam 43 surat. Penggunaan kata al-insân pada umumnya digunakan
pada keistimewaan manusia penyandang predikat khalifah di muka bumi, sekaligus
dihubungkan dengan proses penciptaannya. Keistimewaan tersebut karena manusia
merupakan makhluk psikis disamping makhluk fisik yang memiliki potensi dasar,
yaitu fitrah akal dan kalbu. Potensi ini menempatkan manusia sebagai makhluk
Allah SWT yang mulia dan tertinggi dibandingkan makhluk-Nya yang lain.
Nilai psikis manusia
sebagai al-insân yang dipadu wahyu Ilahiyah akan membantu manusia dalam
membentuk dirinya sesuai dengan nilai-nilai insaniah yang terwujud dalam
perpaduan iman dan amalnya. Sebagaimana firman Allah SWT Artinya :
“kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh, Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (QS. At-Thiin:
6)
Kata insan, digunakan
Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan
raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan
fisik, mental dan kecerdasan.
2) Al-Basyar
Kata Al-Basyar dinyatakan
dalam al-Quran sebanyak 36 kali yang tersebut dalam 26 surat. Kata-kata
tersebut diungkap dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna (dual)
untuk menunjukkan manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan
manusia seluruhnya.
Pemaknaan manusia dengan
Al-Basyar memberikan pengertian bahwa manusia adalah makhluk biologis serta
memiliki sifat-sifat yang ada di dalamnya, seperti makan, minum, perlu hiburan,
seks dan lain sebagainya. Karena kata Al-Basyar ditunjukkan kepada seluruh
manusia tanpa terkecuali, ini berarti Nabi dan Rasul pun memiliki dimensi
Al-Basyar seperti yang diungkapkan firman Allah SWT dalam Al-Quran Surat
Al-Kahfi ayat 110 :
Artinya:
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa
seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku… (QS. Al-Kahfi 110)
Dengan demikian penggunaan
kata al-basyar pada manusia menunjukkan persamaan dengan makhluk Allah SWT
lainnya pada aspek material atau dimensi jasmani nya.
3) Al-nâs
Kata al-nâs menunjukkan
pada hakikat manusia sebagai makhluk social dan ditunjukkan kepada seluruh
manusia secara umum tanpa melihat statusnya apakah beriman atau kafir.
Penggunaan kata al-nâs lebih bersifat umum dalam mendefinisikan hakikat manusia
dibanding dengan kata al-insân.
Kata al-nâs juga dipakai
dalam Al-Quran untuk menunjukkan bahwa karakteristik manusia senantiasa berada
dalam keadaan labil. Meskipun telah dianugerahkan Allah SWT dengan berbagai
potensi yang bisa digunakan manusia untuk mengenal Tuhannya, namun hanya
sebagian manusia saja yang mau mempergunakannya, sementara sebagian yang lain
tidak, justru mempergunakan potensi tersebut untuk menentang ke-Mahakuasa-an
Tuhan. Dari sini terlihat bahwa manusia mempunya dimensi ganda, yaitu sebagai
makhluk yang mulia dam yang tercela.
Dari uraian di atas, bahwa
pendefinisian manusia yang diungkap dalam Al-Quran dengan istilah Al-Insân,
Al-Basyar dan al-nâs menggambarkan tentang keunikan dan kesempurnaan manusia
sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Hal ini memperlihatkan bahwa manusia
merupakan satu kesatuan yang utuh, antara aspek material (fisik/jasmani), dan
immaterial (psikis/ruhani) yang dipandu oleh ruh Ilahiah. Kedua aspek tersebut
saling berhubungan.
PROSES
PENCIPTAAN MANUSIA
Manusia adalah makhluk
Allah. Ia bukan terjadi dengan sendirinya, tetapi dijadikan oleh Allah SWT.
Sebagaimana firman Allah dalam Al Quran Surat Ar-Rum ayat 40, yang artinya:
“Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian
memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali)” (QS.
Ar-Rum : 40)
Manusia adalah
satu-satunya makhluk yang unsur penciptaannya terdapat ruh Illahi sedang
manusia tidak diberi pengetahuan tentang ruh kecuali sedikit.
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh.
Katakanlah: “Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit”. (QS. Al-Israa : 85)
Proses penciptaan manusia
seperti yang dimuat pada Al-Quran Surat Ash-Shaad ayat 71-72 dan Al-Mukminûn
ayat 12-13, penggunaan kata al-insân mengandung dua dimensi, Pertama, dimensi
tubuh / materiil (dengan berbagai unsurnya). Kedua, dimensi spiritual
(ditiupkan-Nya ruh-Nya kepada manusia).
Quraish Syihab dalam
Wawasan Al-Quran menjelaskan bahwa Al-Quran ketika berbicara tentang penciptaan
manusia pertama, menunjuk kepada sang Pencipta dengan menggunakan pengganti
nama berbentuk tunggal.
(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada
Malaikat : “Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah”. (QS. Shâd:
71)
Allah berfirman: “Hai iblis, Apakah yang
menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.
Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) Termasuk orang-orang yang
(lebih) tinggi ?”. (QS. Shâd: 75)
Tetapi ketika berbicara
tentang reproduksi manusia secara umum, Yang Maha Pencipta ditunjuk dengan
menggunakan bentuk jamak.
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada
Para Malaikat : “Sesungguhnya aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah
liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk, Maka apabila
aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh
(ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”. (QS. Al-Hijr :
28-29)
Seperti telah disebutkan
di atas bahwa Al-Quran juga menggunakan kata ath-thin untuk unsur materiil asal
manusia. Salah satunya menggunakan kata sulâlatin min thîn, dalam konteks
kejadian manusia pada umumnya. Di bagian lain diungkap menggunakan kata thînin
lâzib seperti yang termuat dalam Al-Quran Surat Ash-Shâffât ayat 11 :
Maka Tanyakanlah kepada
mereka (musyrik Mekah) : “Apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah
apa yang telah Kami ciptakan itu ?” Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka
dari tanah liat. (QS. Ash-Shâffât : 11)
Selain menggunakan kedua
kata di atas (sulâlatin min thîn dan thînin lâzib), dalam Al-Quran juga
terdapat kata shalshâl yang dirangkai dengan ungkapan min hamain masnûn seperti
yang disebut dalam Surat Al-Hijr ayat 26 :
“Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
(Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi
bentuk “.
Artinya:
“Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti
tembikar (QS. Ar-Rahmân ; 14)
TUGAS DAN
FUNGSI MANUSIA DALAM KEHIDUPAN
1.BERIBADAH KEPADA ALLAH
SWT
Beribadah kepada Allah Swt merupakan
tugas pokok, bahkan satu-satunya tugas dalam kehidupan manusia sehingga apapun
yang dilakukan oleh manusia dan sebagai apapun dia, seharusnya dijalani dalam
kerangka ibadah kepada Allah Swt sebagaimana firman-Nya yang artinya:
“Dan Aku tidak menciptakan manusia kecuali supaya
mereka menyembah-Ku” (QS 51:56).
Agar segala yang kita
lakukan bisa dikategorikan ke dalam ibadah kepada Allah Swt, maka paling tidak
ada tiga kriteria yang harus kita penuhi.
Pertama, lakukan segala
sesuatu dengan niat yang ikhlas karena Allah Swt. Keikhlasan merupakan salah
satu kunci bagi diterimanya suatu amal oleh Allah Swt dan ini akan berdampak
sangat positif bagi manusia yang melaksanakan suatu amal, karena meskipun apa
yang harus dilaksanakannya itu berat, ia tidak merasakannya sebagai sesuatu
yang berat, apalagi amal yang memang sudah ringan. Sebaliknya tanpa keikhlasan,
amal yang ringan sekalipun akan terasa menjadi berat, apalagi amal yang
jelas-jelas berat untuk dilaksanakan, tentu akan menjadi amal yang terasa
sangat berat untuk mengamalkannya.
Kedua, lakukan segala
sesuatu dengan cara yang benar, bukan membenarkan segala cara. sebagaimana yang
telah digariskan oleh Allah Swt dan dicontohkan oleh Rasul-Nya. Manakala
seorang muslim telah menjalankan segala sesuatu sesuai dengan ketentuan Allah
Swt, maka tidak ada penyimpangan-penyimpangan
dalam kehidupan ini yang membuat perjalanan hidup manusia menjadi sesuatu yang
menyenangkan.
Ketiga, adalah lakukan
segala sesuatu dengan tujuan mengharap ridha Allah Swt dan ini akan membuat
manusia hanya punya satu kepentingan, yakni ridha-Nya. Bila ini yang terjadi,
maka upaya menegakkan kebaikan dan kebenaran tidak akan menghadapi kesulitan,
terutama kesulitan dari dalam diri para penegaknya, hal ini karena
hambatan-hambatan itu seringkali terjadi karena manusia memiliki kepentingan-kepentingan
lain yang justru bertentangan dengan ridha Allah Swt.
2. KHALIFAH ALLAH DI MUKA BUMI
Nilai-nilai dan segala ketentuan yang
berasal dari Allah Swt harus ditegakkan dalam kehidupan di dunia ini. Untuk
menegakkannya, maka manusia diperankan oleh Allah Swt sebagai khalifah (wakil)
Allah di muka bumi ini untuk menegakkan syariat-syariat-Nya, Allah Swt
berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi” (QS 2:30).
Untuk bisa menjalankan
fungsi khalifah, maka manusia harus menegakkan nilai-nilai kebenaran dan
keadilan serta menyiarkan kebaikan dan kemaslahatan, ini merupakan perkara yang
sangat mendasar untuk bisa diterapkan dan tanpa kebenaran, keadilan serta
kebaikan dan kemaslahatan, tidak mungkin tatanan kehidupan umat manusia bisa
diwujudkan, karenanya ini menjadi persyaratan utama bagi manusia untuk
menjalankan fungsi khalifah pada dirinya, Allah Swt berfirman yang artinya:
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikajn kamu
khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara
manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari
jalan Allah akan mendapat azab yang berat karena mereka melupakan hari
perhitungan” (QS shad:26).
Untuk bisa memperoleh
kehidupan yang baik di dunia ini, salah satu yang menjadi penopang utamanya
adalah penegakkan hukum secara adil sehingga siapapun yang bersalah akan
dikenai hukuman sesuai dengan tingkat kesalahannya, karenanya hal ini merupakan
sesuatu yang sangat ditekankan oleh Allah Swt kepada manusia sebagaimana
terdapat dalam firman-Nya yang artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum diantara manusia supaya menetapkannya dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS 4:58).
Mengingat keadilan begitu
penting bagi upaya mewujudkan kehidupan yang baik, kerharusan berlaku adil
tetap ditegakkan meskipun kepada orang yang kita benci sehingga jangan sampai
karena kebencian kita kepadanya, keadilan yang semestinya ia nikmati tidak bisa
mereka peroleh. Manakala keadilan bisa ditegakkan, maka masyarakat yang
bertaqwa kepada Allah Swt cepat atau lambat akan terwujud, Allah berfirman yang
artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi
orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan
adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan” (QS 5:8).
3. MEMBANGUN PERADABAN
Kehidupan dan martabat
manusia sangat berbeda dengan binatang. Binatang tidak memiliki peradaban
sehingga betapa rendah derajat binatang itu. Adapun manusia, dicipta oleh Allah
Swt untuk membangun dan menegakkan peradaban yang mulia, karenanya Allah Swt
menetapkan manusia sebagai pemakmur bumi ini, Allah berfirman yang artinya:
“Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan
menjadikan pemakmurnya” (QS 11:61).
Untuk bisa membangun
kehidupan yang beradab, ada lima pondasi masyarakat beradab yang harus
diwujudkan dan diperjuangan pelestariannya, yaitu: Pertama, nilai-nilai agama Islam yang datang dari
Allah Swt. Kedua, akal yang merupakan potensi besar untuk berpikir dan
merenungkan segala sesuatu. Ketiga, harta yang harus dicari secara halal dan
bukan menghalalkan segala cara. Keempat, kehormatan manusia dengan akhlaknya
yang mulia yang harus dijaga dan dilestarikan. Dan Kelima, keturunan atau nasab
manusia yang harus jelas sehingga dalam masalah hubungan seksual misalnya,
manusia tidak akan melakukannya kepada sembarang orang.
Manakala manusia tidak
mampu membangun peradaban sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah Swt,
maka martabat manusia akan menjadi lebih rendah dari binatang, hal ini karena
manusia bukan hanya memiliki potensi fisik yang sempuna dibanding binatang,
juga manusia punya botensi berpikir dan mendapat bimbingan berupa wahyu dari
Allah Swt yang diturunkan kepada para Nabi. Dalam kaitan kemungkinan manusia
menjadi lebih rendah atau lebih sesat dari binatang, bahkan binatang ternak
dikemukakan oleh Allah Swt dalam firman-Nya yang artinya:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka
jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata
(tapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan
mereka mempunyai telinga (tapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS 7:179).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar